Selasa, 29 November 2011

SINDROM NEFROTIK PADA USIA PRE SCHOOL


A.    Defenisi
Sindroma nefrotik ialah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkholesterolemia. Terbanyak terdapat antara 3-4 tahun dengan perbandingan pria ; wanita = 2 : 1. Tanda-tanda tersebut dijumpai disetiap kondisi yang sangat merusak membran kapiler glomerulus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus.

B.     Manifestasi Klinik
Manifestasi sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan (piting), dan umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital), pada area ekstremitas (sacrum, tumit dan tangan), dan pada abdomen (acites). Gejala lain seperti malaise, sakit kepala, irritabilitas dan keletihan umumnya terjadi.

C.     Pembagian Sindrom Nefrotik (Etiologi)
Sebab yang pasti belum diketahui . akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu “auto immune disease” , jadi merupakan suatu reaksi antigen – antibody. Umumnya orang membagi etiologinya dalam ;
1.      Sindroma Nefrotik Bawaan .
Resistem terhadap semua pengobatan .
Gejala; Edema pada masa neonatus. Pengjangkokan ginjal dalam masa neonates telah dicoba tapi tidak berhasil . prognosis infaust dalam bulan- bulan pertama .
2.      Sidroma Nefrotik Sekunder
Yang disebabkan oleh ;
a.       Malaria kuartana atau parasit lain
b.      Penyakit kolagen seperti ; disseminated lupus erythhematosus; .anaphylactoid purpura.
c.       Glomerunefritis akut atau glomerulonefritis kronik dan trombosis vena renalis.
d.      Bahan kimia : Trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, senagatan lebah, poison oak,
e.       Air raksa.
f.       Amiloidosis, sick sell disease, hiperprolonemia.
3.      Syndrome Nefrotik Idiopatik
Gambaran klinik : Edema merupakan klinik yang menonjol, kadang-kadang 40% dari berat badan. Pada keadaan anasarka terdapat asites, hidrothoraks, edema scrotum. Penderita sangat rentang terhadap infeksi skunder. Selama beberapa minggu terdapat haem aturia, asotemia dan hipertensi ringan.

D.    Patofisiologi
Manifestasi primer sindrom nefrotik adalah hilangnya plasma protein, terutama albumin, kedalam urine. Meskipun hati mampu meningkatkan produksi albumin, namun organ ini tidak mampu untuk terus mempertahankannya jika albumin terus menerus hilang melalui ginjal. Akhirnya terjadi hipoalbuminemia. Menurunnya tekanan onkotik menyebabkan edema generalisata akibat cairan yang berpindah dari system vaskuler kedalam ruang cairan ekstraseluler. Penurunan sirkulasi darah mengaktifkan system rennin –Angiotensin, menyebabkan retensi natrium dan edema lebih lanjut. Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis lipoprotein dihati dan peningkatan konsentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia)
Sindrom nefrotik dapat terjadi disetiap penyakit renal intrinsic atau sistemik yang mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit ini dianggap menyerang anak-anak, namun sindrom nefrotik juga terjadi pada orang dewasa termasuk lansia. Penyebab mencakup glomerulonefrotis kronik, diabetes mellitus disertai glomerulosklerosis intrakapiler, amilodosis ginjal, penyakit lupus eritematosus sistemik dan trombosis vena renal.
E.     Evaluasi Diagnostik
Urinalisis menunjukkan haemturia mikroskopik, sedimen urine, dan abnormalitas lain. Jarum biopsi ginjal mungkin dilakukan untuk pemriksaan histology terhadap jaringan renal untuk memperkuat diagnosis.
Terdapat proteinuri terutama albumin (85 – 95%) sebanyak 10 –15 gr/hari. Ini dapat ditemukan dengan pemeriksaan Essbach. Selama edema banyak, diuresis berkurang, berat jenis urine meninggi. Sedimen dapat normal atau berupa toraks hialin, dan granula lipoid, terdapat pula sel darah putih. Dalam urine ditemukan double refractile bodies. Pada fase nonnefritis tes fungsi ginjal seperti : glomerular fitration rate, renal plasma flowtetap normal atau meninggi. Sedangkan maximal konsentrating ability dan acidification kencing normal . Kemudian timbul perubahan pada fungsi ginjal pada fase nefrotik akibat perubahan yang progresif pada glomerulus.
Kimia darah menunjukkan hipoalbuminemia, kadar globulin normal atau meninggi sehingga terdapat rasio Albumin-globulin yang terbalik, hiperkolesterolemia, fibrinogen meninggi. Sedangkan kadar ureum normal. Anak dapat menderita defisiensi Fe karena banyak transferin ke luar melalui urine. Laju endap darah tinggi, kadar kalsium darah sering rendah dalam keadaan lanjut kadang-kadang glukosuria tanpa hiperglikemia.

F.      Penatalaksanaan
1.      Istirahat sampai tinggal edema sedikit.
2.      Makanan yang mengandung protein sebanyak 3-4 mg/kgBB/hari :minimun bila edema masih berat. Bila edema berkurang diberi garam sedikit.
3.      Mencegah infeksi. Diperiksa apakah anak tidak menderita TBC.
4.      Diuretika.
5.      Inter national Cooperatife study of Kidney disease in Children mengajukan:
a.    Selama 28 hari prednison per os sebanyak 2 kg/kgBB/sehari dengan maksimun sehari 80 mg.
b.    Kemudian prednison per os selama 28 hari sebanyak 1,5 mg/kgBB / hari setiap 3 hari dalam 1mingggu dengan dosis maksimun sehari : 60mg . Bila terdapat respons membaik maka dilanjutkan dengan 4 minggu secara intermiten.
c.    Pengobatan prednison dihentikan. Bila terjadi relaps maka seperti pada terapi permulaan diberi setiap hari prednison sampai urine bebas protein. Kemudian seperti terapi permulaan selama 5 minggu tetapi secara interminten.
6.      Antibiotika hanya diberikan jika ada infeksi.
7.      Lain-lain : Fungsi acites, Fungsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital. Bila ada dekompensasi jantung diberikan digitalisasi.

Rumus perhitungan obat prednison yaitu1 – 5 KG M2 = (0.05 X KG) + 0.05
6 – 10 KG M2 = (0.04 X KG) + 0.10
11 – 20 KG M2 = (0.03 X KG) + 0.20
21 – 40 KG M2 = (0.02 X KG) + 0.40
CONTOH:BB = 7 KG = AREA (M2) = 0.04 X 7 + 0.10 = 0.38 M2
BB = 17 KG = AREA (M2) = 0.03 X 17 + 0.20 = 0.71 M2

INKONTINENTIA URNIE


A.    Definisi
Inkontinensia urin adalah pengeluaranurin tanpa disadari dalam jumlah danfrekuensi yang cukup sehinggamengakibatkan masalah gangguankesehatan atau sosial (Kane dkk. 1989).

B.     Etiologi
Inkotinensia urin dapat terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus yang mengurangi perubahan-perubahan pada organ berkemih
akibat proses menua/lansia meliputi :
 (Whitehead, Fonda)
1.      Kelainan Urologis : misalnya ISK, tumor, divertikel
2.      Kelainan neurologik : misalnya stroke, trauma pada medulla spinalis, dimensia, delirium.
3.      Lain-lain, misalnya hambatan mobilitas, situasi tempat berkemih yang tidak memadai /jauh dan sebagainya

Penyebab inkontinensia urin pada usia lanjut dapat dibedakan menjadi penyebab akut dan penyebab kronik.(Kane dkk.)
1.      Inkotinensia akut
Penanganan IU akut pada usia lanjut berbeda tergantung kondisi yang dialami pasien.IU akut juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai se­bab. Untuk memudahkan mengingat macam inkontinensia yang akut dan biasanya reversibel, antara lain dapan memanfaatkan akronim “DRIP”, yang merupakan kependekan dari: (Kane dkk.)
a.       D : Delirium
b.      R : Restriksi mobilitas, retensi
c.       I : Infeksi, inflamasi, impaksi feces.
d.      P : Pharmasi (obat-obatan), poliuri

2.      Penyebab kronik
a.       Urinary stress incontinence
Stress urinary incontinence terjadi apabila urin secara tidak terkontrol keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut. Dalam hal ini, tekanan di dalam kandung kencing menjadi lebih besar daripada tekanan pada urethra. Gejalanya antara lain kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut. Pengobatan dapat dilakukan secara tanpa operasi(misalnya dengan Kegel exercises, dan beberapa jenis obat-obatan), maupun secara operasi (cara yang lebih sering dipakai)
b.      Urge incontinence
Urge incontinence timbul pada keadaan otot detrusor yang tidak stabil, di mana otot ini bereaksi secara berlebihan. Gejalanya antara lain perasaan ingin kencing yang mendadak, kencing berulang kali, kencing malam hari, dan inkontinensia. Pengobatannya dilakukan dengan pemberian obat-obatan dan beberapa latihan.
c.       Total incontinence      
Total incontinence, di mana kencing mengalir ke luar sepanjang waktu dan pada segala posisi tubuh, biasanya disebabkan oleh adanya fistula (saluran abnormal yang menghubungkan suatu organ dalam tubuh ke organ lain atau ke luar tubuh), misalnya fistula vesikovaginalis (terbentuk saluran antara kandung kencing dengan vagina) dan/atau fistula urethrovaginalis (saluran antara urethra dengan vagina). Bila ini dijumpai,dapat ditangani dengan tindakan operasi.
d.      Overflow incontinence
Overflow incontinence adalah urin yang mengalir keluar akibat isinya yang sudah terlalu banyak di dalam kandung kencing akibat otot detrusor yang lemah.Biasanya hal ini dijumpai pada gangguan saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, atau saluran kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak puas setelah kencing (merasa urin masih tersisa di dalam kandung kencing), urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah. Pengobatannya diarahkan pada sumber penyebabnya.
C.     Manifestasi Klinis
1.      Inkontinensia stres: keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan sebagainya. Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stres.
2.      Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin dengan gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.
3.      Enuresis nokturnal: 10% anak usia 5 tahun dan 5% anak usia 10 tahun mengompol selama tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua merupakan sesuatu yang abnormal dan menunjukkan adanya kandung kemih yang tidak stabil.
4.      Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi (pancara lemah, menetes), trauma (termasuk pembedahan,misalnya reseksi abdominoperineal), fistula (menetes terus-menerus), penyakit neurologis (disfungsi seksual atau ususbesar) atau penyakit sistemik (misalnya diabetes) dapatmenunjukkan penyakit yang mendasari.

D.    Patofisiologi
Inkontinentia Urin bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen secara tiba-tiba. Inkontinentia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal cord trauma atau bersifat temporer pada wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah dapat berakibat terjadinya Inkontinentia Urine. Meskipun Inkontinentia Urinne dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.
E.     Pemeriksaan Penunjang
1.      Kultur urin: untuk menyingkirkan infeksi.
2.      IVU: untuk menilai saluran bagian atas dan obstruksi atau fistula.
3.      Urodinamik:
a.       Uroflowmetri: mengukur kecepatan aliran
b.      Sistrometri: menggambarkan kontraksi detrusor.
c.       Sistometri video: menunjukkan kebocoran urin saatmengejan pada pasien dengan inkontinensia stres.
4.      Flowmetri tekanan udara: mengukur tekanan uretra dan kandung kemih saat istirahatdan selama berkemih.
5.      Sitoskopi: jika dicurigai terdapat batu atau neoplasma kandung kemih.

F.      Diagnosa Keperawatan
1.      Inkontinensia fungsional berhubungan dengan ketidakmampuan atau kesulitan mencapai toilet sekunder terhadap penurunan mobilitas atau motivasi.
2.      Inkontinensia dorongan yang berhubungan dengan gangguan hambatan impuls aferen sekunder terhadap disfungsi otak atau spinal.
3.      Resiko tinggi terhadap isolasi sosial yang berhubungan dengan rasa malu tentang inkontinensia di depan orang lain dan rasa takut bau urin.
4.      Resiko tinggi inefektif penatalaksanaan regimen terapeutik yang berhubungan dengan ketidak cukupan pengetahuan tentang etiologi inkontinensia,penatalaksanaan, program pelatihan kandung kemih,tanda dan gejala komplikasi dan sumber-sumber

G.    Intervensi
Sejauh ini, penatalaksanaan inkontinensia urine terdiri atas tiga kategori utama, yaitu terapi nonfarmakologis (intervensi perilaku), farmakologis, dan pembedahan. Terapi farmakologis umumnya memakai obat-obatan dengan efektivitas dan efek samping berbeda. Strategi pengelolaan optimal amat bergantung pada pasien, tipe inkontinensia, dan manfaat tiap intervensi, serta ketepatan identifikasi penyebab inkontinensia urine. Terapi yang sebaiknya pertama kali dipilih adalah terapi nonfarmakologis sebelum menetapkan menggunakan terapi farmakologis atau terapi pembedahan.Teknik ini hanya sedikit mengandung risiko pada pasien dan bermanfaat menurunkan frekuensi inkontinensia urine. Terapi utama dalam kelompok terapi non farmakologis dikenal sebagai Behavioral Therapies, yaitu berbagai intervensi yang diajarkan kepada pasien untuk memodifikasi perilaku kesehariannya terhadap kontrol kandung kemih. Di sini termasuk:
a.       Pengaturan diet dan menghindari makanan/minuman yang mempengaruhi pola berkemih (seperti cafein, alkohol).
b.      Program latihan berkemih yaitu latihan penguatan otot dasar panggul (pelvic floor axercise, latihan fungsi kandung kemih (blandder training) dan program katerisasi intermitten.
c.       Latihan otot dasar panggul menggunakan biofeedback.
d.      Latihan otot dasar panggul menggunakan vaginal weight cone therapy. Selain behavioral therapies, dikenal pula intervensi lain, yaitu dan pemanfaatan berbagai alat bantu terapi inkontinensia.

Kombinasi antara terapi medikamentosa dan intervensi non farmakologis memberikan hasil pemulihan inkontinensia lebih baik. Penyulit terapi non farmakologis adalah perlunya kooperasi pasien untuk bekerjasama. Bila kerjasama tak terjalin, maka terapi tak akan berhasil. Oleh karenanya, diperlukan kecermatan dan ketelatenan tenaga medis dan paramedis untuk meyakinkan pasien dengan memberikan informasi yang benar dan mendampingi serta mengevaluasi secara teratur, sampai pemulihan maksimal tercapai.

H.    Penatalaksanaan
Latihan otot-otot dasar panggul Latihan penyesuaian berkemihObat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen Tindakan pembedahan memperkuat muara kandung kemih
1.      Inkontinensia urgensi
a.       Latihan mengenal sensasi berkemih dan penyesuaiany
b.      Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen
c.       Tindakan pembedahan untuk mengambil sumbatan dan lain-lain keadaan patologik yang menyebabkan iritasi pada saluran kemih bagian bawah.
d.      Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, dan kalau tidak mungkin secara menetap
e.       Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan
2.      Inkontensia overflow
a.       Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, dan kalau tidak mungkin secara menetap
b.      Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan
3.      Inkontinensia tipe fungsional
a.       Penyesuaian sikap berkemih antara lain dengan jadwal dan kebiasaan berkemih
b.      Pekaian dalam dan kain penyerap khusus lainnya
c.       Penyesuaian/modifikasi lingkungan tempat berkemih
d.      Kalau perlu digaunakan obat-obatan yang merelaksasi kandung kemih

I.       Prosedur Latihan
1.      Latihan Otot Dasar Panggul ( Plevic Floor Exercise )/ Kegel Exercise Latihan otot dasar panggul yaitu latihan dalam bentuk seri untuk membangun kembali kekuatan otot dasar panggul. Otot dasar panggul tak dapat dilihat dari luar, sehingga sulit untuk menilai kontraksinya secara langsung. Oleh karena itu, latihannya perlu benar-benar dipelajari, agar otot yang dilatih adalah otot yang tepat dan benar. Keberhasilan akan dicapai bila:
a.       Pastikan bahwa pengertian pasien sama dengan yang anda maksud
b.      Latihan dilakukan tepat pada otot dan cara yang benar
c.       Lakukan secara teratur, beberapa kali per hari
d.      Praktekkan secara langsung pada setiap saat dimana fungsi otot tersebut diperlukan
e.        Latihan terus, tiada hari tanpa latihan Sebagian pasien, sulit mengerjakan latihan ini. Mereka mengasosiasikan kontraksi otot dasar panggul sebagai gerakan mengejan dengan konsentrasi pada otot dasar panggul. Hal ini salah, dan akan menimbulkan inkontinensia lebih parah lagi. Ada lagi yang mengartikannya sebagai gerakan mendekatkan kedua bokong, mengencangkan otot paha dan saling menekankan kedua lutut di sisi tengah. Gerakan ini takakan menghasilkan penguatan otot dasar panggul, melainkan menghasilkan bokong yang bagus dan paha yang kuat.
f.       Program Latihan Dasar Kontraksi otot dasar panggul dilakukan dengan:
1)      Cepat : Kontraksi-relaks-kontraksi-relaks-dst
2)       Lambat : Tahan kontraksi 3-4 detik, dengan hitungan kontraksi 2-3-4-relaks, istirahat-2-3-4, kontraksi-2-3-4 relaks-istirahat-dst. Latihan seri gerakan cepat disusul dengan gerakan lambat dengan frekuensi sama banyak. Misalnya, 5 kali kontraksi cepat, 5 kali kontraksi lambat. Latihan ini pun dikerjakan pada berbagai posisi, yaitu sambil berbaring, sambil duduk, sambil merangkak, berdiri, jongkok, dll. Harus dirasakan bahwa pada posisi apapun otot yang berkontraksi adalah otot dasar panggul. Jangan harapkan keberhasilan akan segera muncul, karena otot dasar panggul dan otot sfingter yang lemah, serta tak biasa dilatih, cenderung cepat lelah. Bila keadaan letih (fatig) tercapai, maka inkontinensia akan lebih sering terjadi. Oleh karena itu perlu dicari titik kelelahan pada setiap individu. Caranya, dilakukan dengan “trial and error”. Lakukan kontraksi dengan frekuensi tertentu cepat dan lambat, misalnya 4 kali atau 5 kali atau 6 kali dan tentukan frekuensi sebelum mencapai titik lelah dan otot menjadi lemah. Yang terakhir ini dapat dites dengan melakukan digital vaginal self asessment (vaginal toucher) yaitu, memasukkan dua jari tangan setelah dilumuri jelly, ke dalam vagina. Coba buka kedua jari arah antero-posterior dan minta pasien melawan gerakan tersebut dengan mengkontraksikan otot dasar panggul. Pada jari pemeriksaan akan terasa tekanan, ini berarti kekuatan otot positif, sekaligus dinilai, kekuatan tersebut lemah, sedang, atau kuat. Dapat diajarkan kepada pasien agar dia mampu melakukan sendiri digital vaginal self asessment.. Bila fasilitas memenuhi, kekuatan otot dasar panggul dapat diukur dengan suatu alat tertentu. Awali latihan dengan frekuensi latihan kecil, yaitu 3, 4 dan 5 kali kontraksi setiap seri. Frekuensi kontraksi ini disebut dosis kontraksi dasar. Lakukan pada dosis awal, 10 seri perhari, sehingga bila kontraksi dasar adalah 4 kali, maka perhari dilakukan kontraksi 4 cepat, 4 lambat, 10 kali = 80 kali kontraksi per hari. Ingat, tiada hari tanpa latihan. Dosis kontraksi dasar ditingkatkan setiap minggu, dengan menambahkan frekuensi kontraksi 1 atau 2, tergantung kemajuan. Lakukan semua dengan perlahan, tak perlu cepat-cepat. Pada akhir minggu ke IV, sebaiknya telah dicapai 200 kontraksi perhari. Pada awalnya, latihan terasa berat, tetapi kemudian akan terbiasa dan terasa ringan.
g.       Sebagai parameter keberhasilan, dapat dipakai:
1)      Stop test
2)      Frekuensi miksi perhari
3)      Volume vaginal assessment

2.      Bladder Training Adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kencing yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik (UMN atau LMN), dapat dilakukan dengan pemeriksaan refleks-refleks:
a.       Refleks otomatik Refleks melalui saraf parasimpatis S2-3 dansimpatis T12-L1,2, yang bergabung menjadi n.pelvikus. Tes untuk mengetahui refleks ini adalah tes air es (ice water test). Test positif menunjukkan tipe UMN sedangkan bila negatif (arefleksia) berarti tipe LMN.
b.      2. Refleks somatic Refleks melalui n.pudendalis S2-4. Tesnya berupa tes sfingter ani eksternus dan tes refleks bulbokarvernosus. Jika tes-tes tersebut positif berarti tipe UMN, sedangkan bila negatif berarti LMN atau tipe UMN fase syok spinal Langkah-langkah Bladder Training: 1. Tentukan dahulu tipe kandung kencing neurogeniknya apakah UMN atau LMN 2. Rangsangan setiap waktu miksi

3.       Kateterisasi:
a.       Pemasangan indwelling cathether (IDC)=dauer cathether IDC dapat dipasang dengan sistem kontinu ataupun penutupan berkala (clamping). Dengan pemakaian kateter menetap ini, banyak terjadi infeksi atau sepsis. Karena itu kateterisasi untuk bladder training adalah kateterisasi berkala. Bila dipilh IDC, maka yang dipilih adala penutupan berkala oleh karena IDC yang kontinu tidal fisiologis dimana kandung kencing yang selalu kosong akan mengakibatkan kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot kk
b.      Kateterisasi berkala Keuntungan kateterisasi berkala antara lain:
1)      Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi/overdistensi yang mengakibatkan aliran darah ke mukosa kandung kencing dipertahankan seoptimal mungkin
2)      Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala seakan-akan berfungsi normal
3)      Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis, maka penderita dapat melewati masa syok spinal secara fisiologis sehingga feedback ke medula spinalis tetap terpelihara o Teknik yang mudah dan penderita tidak terganggu kegiatan sehari-harinya

4.      Latihan Otot Dasar Panggul dengan Biofeedback Biofeedback sering dimanfaatkan untuk membantu pasien mengenali ketepatan otot dasar panggul yang akan dilatih. Caranya adalah dengan menempatkan vaginal perineometer dan dapat dimonitor melalui suara atau tampak kontraksi otot di kaca monitor. Pada penelitian, dibuktikan oleh Shepherd bahwa kombinasi latihan otot dasar panggul dengan biofeedback, meningkatkan keberhasilan penatalaksanaan inkontinensia (91 persen) dibandingkan kelompok kontrol tanpa biofeedback (55 persen). Penyempurnaan biofeedback saat ini, dapat sekaligus memonitor kontraksi dan relaksasi otot dasar panggul dan otot abdomen. Bahkan biofeedback dapat digunakan di rumah, untuk latihan pasien inkontinensia.

5.      Latihan Otot Dasar Panggul Menggunakan Vaginal Weight Cone Therapy Vaginal weight cone therapy adalah alat pemberat dengan berat antara 20 gr – 70 gr yang dimasukkan ke dalam vagina. Pasien diminta berdiri, berjalan normal, selama 15 menit dan harus menegangkan otot dasar panggul agar beban tersebut tidak jatuh. Dimulai dengan beban ringan dan kemudian ditingkatkan latihan dilakukan dua kali perhari. Latihan dievaluasi dibandingkan dengan pemulihan inkontinensianya. Tentu saja pada saat menstruasi, latihan ini jangan dilakukan. Electrical stimulation (ES) Terapi stimulasi listrik untuk inkontinensia mulai diperkenalkan pada masa kini, terutama untuk multiple lower urinary tract disorders. Stimulasi ditujukan kepada syaraf sacral otonomik atau syaraf somatik yang secara spesifik. Hasil terapi tergantung dari utuh tidaknya jaras syaraf antara sacral cord dan otot dasar panggul. Secara umum manfaat ES cukup baik, namun masih perlu penelitian lebih lanjut.

J.       Alat-alat yang digunakan
Alat Bantu Terapi Inkontinensia Banyak alat yang dirancang untukmembantu mengatasi inkontinensia, antara lain:
1.      Urinary Control Pad.
2.      Continence Shield.
3.      Urethral Occlusion Insert.
4.      Bladder Neck Prothesis.
5.      Vaginal Pessaries.
6.      Penile Cuffs and Clamps